Mama Berhati Emas
M. Adiwidiasih S
Kadang monika suka berangan-angan. Alangkah menyenangkan bila punya mama seperti mamanya Putri. Selalu rapi, bersepatu tinggi, dan bekerja di kantor. Langsing, rambutnya sebahu, berombak rapi ... Atau seperti Tante Elsa, mamanya Sinta, yang bekerja di salon. Ia selalu tampil modis. Pakaian dan make-upnya serasi. Jemarinya indah dengan cat kuku yang berganti-ganti warna sesuai bajunya. Pokoknya kedua mama teman Monik bagaikan ibu-ibu dalam sinetron.
Kalau mama Monik, boro-boro pakai cat kuku. Sehari-hari, memakai celana panjang dan kemeja. Tubuhnya gemuk pendek dan rambutnya dipotong seperti laki-laki. Pagi-pagi, ia naik sepeda ke pasar untuk membuka kios buah. Mama berdagang apel, jeruk, atau anggur. Disaat musim duku, ya berjualan duku Kalikajar. Kalau bulan baik, ya menerima pesanan kue untuk pernikahan dalam partai kecil maupun yang dirayakan di gedung-gedung.
Mama pakai lipstik dan rok hanya bila pergi ke pesta. Sebaliknya, babe Monik selalu berkemeja lengan panjang, berdasi, dan mengendarai mobil dinas. Dalam hati, kadang Monik heran, kok Babe mau menikah dengan Mama? Bahkan, sangat menyayangi Mama. Tiap pulang kerja, Babe selalu menanyakan Mama.
Hari ini, Monik pulang sekolah lebih cepat karena ada rapat guru. Tapi, Monik malas pulang karena di rumah hanya ada Pak Bini yang sedang mengapur pagar untuk merayakan 17-an. ”Lebih baik aku ke psar saja, ke kios Mama!” pikir Monik. Monik jarang ke kios Mama. Kalau Monik pulang sekolah, biasanya kios sudah tutup dan Mama pun sudah ada di rumah. Turun dari angkot, Monik meniti lorong pasar. Pasar mulai sepi. Pedagang-pedagang mulai mengantuk. Mama sedang memasukkan apel ke dalam dus. Di depan kios Mama, ada pedagang pisang. Seorang anak laki-laki duduk dekat kios pisang sambil menggendong kotak semir sepatu. Pakaiannya kumal kulitnya hitam. ”Ma, Monik pulang cepat. Guru-guru rapat!” kata Monik. ”Kalau begitu kita bisa pulang sama-sama!” kata Mama. ”Ma, anaknya , ya. Kenalin dong!” Tiba-tiba, si penyemir sepatu bangkit dan mendekati kios Mama. ”Monik, ini Bejo. Ayo, kalian salaman!” kata Mama. Dengan segan Monik mengulurkan tangannya. Dalam hati monik kurang senang. Apa-apaan si Bejo ini? Panggil mama Monik seenaknya. Mama! Mama siapa? ”Pak Bini masih melabur pagar. Mama tidak memasak hari ini, kita makan ayam goreng saja, ya, di depan sana!” Monik mengangguk. Hatinya kembali senang, membayangkan ayam goreng, kentang goreng, puding. ”Ma, anaknya cantik. Asyik benar nih makan ayam goreng!” komentar si Bejo. Mama tertawa.
”Terima kasih. Bejo juga Untung. Ayo, ikut saja sekalian makan!” kata Mama. Monik melihat mata Bejo berbinar-binar dan wajahnya berseri-seri.
”Benar, nih Ma. Boleh ajak si Manto? Tanya Bejo penuh harap.
”Ya, ya lekas ajak ke sini. Kalau terlambat, ditinggal, lho!” kata Mama.
Bagai anak panah lepas dari busurnya, Bejo berlari, meninggalkan kotak semir sepatunya di lantai kios tukang pisang.
”Ma, kok orang itu panggil Mama, bukan Ibu atau Tante?” bisik Monik heran. ”Biar saja. Apalah artinya panggilan!” jawab Mama. ”Ma, tidak malu bawa anak kumal ke restoran?” tanya Monik lagi. Ia cemas kalau-kalau bertemu teman di restoran. Mama tersenyum dan menggeleng.
”Monik, anak-anak itu juga manusia seperti kita. Cuma, mereka kurang beruntung. Lihatlah, betapa senang wajah Bejo diajak makan di restoran. Biarlah sekali-sekali, kita memberi sedikit kebahagiaan kepada dia” kata Mama.
Tepat ketika Mama mengunci kios dan mengeluarkan sepedanya, Bejo dan Manto datang. Monik menutup hidung karena kedua anak itu bau terik matahari. Manto memegang tamborin. Rupanya ia seorang pengamen.
”Ma, dapat rezeki, ya, mau traktir kita? Ma, aku minta paha ayam, ya!” kata Manto tanpa malu-malu. Mama Cuma tersenyum, lalu menitipkan sepeda pada Pak Kirman, pedagang pisang.
”Ya, tinggal saja sepedanya di sini. Asal ada ongkos titipnya!” gurau Pak Kirman. Bejo dan Manto juga menitipkan kotak semir sepatu dan tamborin.
Lagi-lagi Monik terperanjat. Ah, Mama tidak takut sepedanya hilang. Mama begitu percaya pada Pak Kirman.
Mereka berempat jalan ke luar pasar. Ketika Mama dan Monik masuk ke restoran, ternyata Manto dan Bejo belum masuk. Mereka bertemu dengan dua kawannya. Entah pengemis atau pengamen Monik tidak tahu.
Mama memesan makanan dan ketika kedua anak laki-laki itu masuk, Mama memberi isyarat agar mereka duduk. Kemudian Mama dan Monik mengantarkan nampan-nampan yang berisi ayam goreng, nasi, dan minuman ringan pada Manto dan Bejo.
”Kalian cuci tangan dulu di sana,” kata Mama. Orang-orang yang sedang makan memperhatikan Mama dan kedua anak laki-laki itu. Monik merasa risih.
Monik dan Mama kembali mengambil nampan untuk mereka sendiri. Manto dan Bejo belum mulai makan, keduanya berbisik-bisik. Mama mendekati mereka. ”Ada apa?” tanya Mama. ”Ma, boleh tidak, satu nampan ini dibawa ke luar untuk Trimo dan Gino? Nanti dikembalikan lagi.
”Aku dan Manto parohan saja! Kasihan Trimo dan Gino!” pintaBejo.
Monik terkesiap. Walaupun anak jalanan, ternyata Bejo punya rasa setia kawan yang besar. Ia dapat makanan enak, dan ia tidak tega menikmatinya sendiri sementara dua kawannya menonton dari balik kaca di luar.
“Ajak saja mereka ke dalam. Mama akan pesan lagi!” kata Mama.
”Tapi, jadi menyusahkan Mama, dong. Mama kan mesti bayar lagi!” kata Manto dengan wajah prihatin.
”Oooh, uang Mama cukup, kok!” Hari ini memang Tuhan kasih rejeki pada kalian!” kata Mama. Wajah Mama berseri-seri dan untuk pertama kalinya Monik bisa melihat bahwa sebetulnya Mama cantik.
Manto dan Bejo pergi ke depan. Mama memesan makanan lagi untuk Manto dan Bejo. Monik bangkit untuk menolong Mama membawakan nampan. Hati Monik terharu. Mama demikian baik.
Ketika membayar di kasir, kasir berkata, “Ibu baik sekali. Jarang orang seperti Ibu. Mau memperhatikan anak-anak jalanan!”
“Ah, hanya ini yang mampu saya lakukan!” kata Mama tersipu-sipu.
Namun, dalam hati Monik merasa bangga. Kemudian mereka mulai makan. Keempat tamu makan dengan lahap. Setelah selesai, mereka mengucapkan terima kasih. Mama dan Monik pulang naik angkot. Bejo akan kembali ke pasar dan mengantarkan sepeda Mama. Ketiga anak lainnya mengamen dan melanjutkan menyemir sepatu di pasar.
Sore hari, Monik bercerita pada Babe tentang Mama.
“Sejak dulu memang mamamu dikenal berhati emas. Itulah sebabnya Babe menikah dengan Mama!” kata Babe sambil menepuk-nepuk bahu Mama.
Monik tersenyum. Rasanya hangat mengalir di hatinya. Sekali lagi, ia melihat Mama yang sedang tersenyum. Tampak cantik walaupun tidak memakai lipstik dan berdandan modis; mamna Monik yang berhati emas. Angan-angan Monik ingin punya mama seperti mama orang lain terbaaang entah kemanaaa.
Sebutkan nilai yang terkandung dalam cerpen ”Mama Berhati Emas”
1. ....................................................................................................................................
2. ....................................................................................................................................
3. ....................................................................................................................................
4. ....................................................................................................................................
5. ....................................................................................................................................
Tentukan tema cerpen di atas, latar, alur (sertakan kejadian/peristiwa dalam cerpen sebagai bukti dalam tahapan alur, dan tentukan tokoh dan penokohannya
Selamat mengerjakan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar